
Jakarta - Penghitungan tarif interkoneksi yang seharusnya tuntas akhir 2015 lalu masih juga belum menemukan titik temu. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pun masih belum memutuskan berapa angka penurunan yang pas untuk biaya terminasi trafik percakapan suara lintas operator dari angka sebelumnya Rp 250.
Saat ditemui detikINET dalam sejumlah kesempatan, menteri yang akrab disapa Chief RA itu menyampaikan harapan ada penurunan yang signifikan dari tarif interkoneksi ini. Tujuannya agar terjadi keseimbangan dan efisiensi industri, khususnya agar tarif telepon pelanggan ke operator lain jadi lebih murah.
"Saya sudah bicara dengan para analis, minimal biayanya bisa turun 10%. Tapi ini masih harus dibicarakan lagi. Kita harus bikin industri lebih efisien, biaya interkoneksi setiap dua tahun direview, sudah dua kali hanya single digitturunnya," jelas Rudiantara.
Sayangnya Rudiantara tidak menjelaskan lebih jauh mengenai keputusan penurunan tarif interkoneksi antar operator ini apakah berdasarkan pada kajian Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) atau tidak. Namun ia memastikan bahwa penurunannya harus signifikan, sesuai dengan kondisi industri saat ini.
"Tarif interkoneksi hanya merupakan rujukan, bukan keharusan. Kalau terjadi dispute, nanti mengacu pada regulasi. Tapi operator masing-masing boleh B2B (bisnis ke bisnis) dan semuanya punya rujukan yang sama," paparnya lebih lanjut.
Seperti diketahui, biaya interkoneksi merupakan salah satu komponen tarif ritel, selain biaya promosi atau produksi dan margin keuntungan. Ini menjadi biaya yang dibayarkan oleh tiap operator saat pelanggan menggunakan layanan berupa voice dan SMS.
Bisa dibilang, selisih biaya interkoneksi ini yang menjadi pendapatan bagi operator baik itu layanan sesama operator (on-net) atau ke lintas operator (off-net). Namun karena masih tingginya tarif interkoneksi, trafik percakapan suara masih didominasi oleh panggilan on-net 96% berbanding off-net yang hanya 4%.
"Kenapa interkoneksi harus signifikan turunnya, karena benefitnya harus dirasakan masyarakat. Dan tujuannya bukan hanya turunnya masalah terminating cost, tetapi bagaimana mendekatkan rasio antara off-net dan on-net. Kalau masih enam kali sampai delapan kali perbedaannya, itu men-discourage orang untuk telepon ke operator lain. Ini yang tidak sehat. Sehingga kalaupun turun, paling tidak beda tiga kali lipat masih okelah," jelas menteri.
Selama ini, tarif interkoneksi masih menggunakan metode simetric alias dibebankan secara sama ke semua operator, baik dari sisi jumlah pelanggan, infrastruktur dan lain sebagainya . Ini tentu menimbulkan perdebatan, karena tak semua operator membangun, misalnya, jumlah BTS yang di satu wilayah sama.
Payung hukum untuk interkoneksi ini diatur di Peraturan Menkominfo No. 8/2006 tentang Interkoneksi. Sementara itu, tarif layanan telekomunikasi melalui jaringan bergerak selular diatur dalam Peraturan Menkominfo No. 9/2008. PM 8/2006 menjamin pelaksanaan interkoneksi yang transparan, non-disriminatif dan mengedepankan prinsip cost-based (sesuai biaya) yang dipandang lebih adil bagi para penyelenggara yang berinterkoneksi.
Perhitungan biaya interkoneksi selama ini menggunakan metode perhitungan Bottom Up Long Run Incremental Cost (BU LRIC) dengan pendekatan Forward Looking. Sementara dengan penurunan minimal 10% (menjadi Rp225) di mana batasan tersebut harus cukup signifikan, Rudiantara berharap revenue operator malah bisa bertambah nantinya -- dan bukannya jadi turun.
"Sebenarnya secara industri (jika tidak diturunkan tarif interkoneksinya) masing-masing operator akan menjadi kerdil. Besarnya hanya di dirinya sendiri (karena mengandalkan on-net). Dengan demikian, industrinya jadi besar, masyarakat juga jadi senang karena tarif turun," kata Rudiantara lagi.
Ia pun berpendapat, dengan penurunan tarif interkoneksi ini, setoran pajak dari para operator tidak akan terlalu berpengaruh karena ada kekhawatiran terjadinya penurunan pendapatan. Menkominfo pun menegaskan, antara interkoneksi dan kewajiban pembangunan dalam modern licensing adalah dua hal yang berbeda.
"Dari sisi penerimaan pajak nggak akan turun karena menurunnya tarif interkoneksi akan menciptakan demand. Jadi secara absolut volume justru jadi naik. Berarti pajaknya naik juga. Interkoneksi dan modern licensing itu beda, dan ini justru bagus buat mereka. Kalau bisnisnya naik, dan EBITDA tambah besar, kemampuan membangunnya juga akan tambah besar," pungkas menteri.
(rou/asj)